Marcus Rashford adalah nama yang melekat erat dengan identitas Manchester United dalam satu dekade terakhir. Lahir dan besar di kota Manchester, ia tumbuh dari akademi hingga menjadi ikon Old Trafford dan simbol harapan publik Inggris. Namun, perjalanan Rashford tak selalu mulus. Dari gemilang di awal karier hingga menghadapi kritik tajam belakangan ini, Rashford kini berada di titik krusial: antara bangkit kembali atau tertinggal dalam bayang-bayang ekspektasi.
Awal yang Meledak: Dari Akademi ke Panggung Dunia
Lahir pada 31 Oktober 1997 di Wythenshawe, Rashford adalah produk murni dari Manchester United Academy. Ia mencuri perhatian dunia saat mencetak dua gol di laga debutnya di Liga Europa melawan Midtjylland (Februari 2016), hanya berselang beberapa hari sebelum mengulanginya melawan Arsenal di Premier League.
Saat itu, usianya baru 18 tahun. Kecepatan, ketajaman, dan ketenangannya dalam menyelesaikan peluang membuatnya segera menjadi sensasi nasional. Ia bahkan dipanggil masuk ke skuad Inggris untuk Euro 2016, menjadi pemain termuda Inggris dalam turnamen besar kala itu.
Simbol Harapan dan Konsistensi di Era Transisi
Selama bertahun-tahun, Rashford menjadi andalan Manchester United di era penuh transisi — pasca-Alex Ferguson, bersama pelatih seperti José Mourinho, Ole Gunnar Solskjær, Ralf Rangnick, dan kini Erik ten Hag. Ia bermain di berbagai posisi: penyerang tengah, winger kiri, bahkan sebagai second striker.
Musim terbaiknya datang pada 2022/23, ketika ia mencetak 30 gol dalam semusim, membawa United menjuarai Carabao Cup dan finis di empat besar. Performa ini menjadi bukti bahwa Rashford mampu menjadi bintang utama dalam skuat modern Setan Merah.
Penurunan Performa dan Kritik Publik
Sayangnya, performa Rashford menurun drastis pada musim berikutnya. Ia hanya mencetak satu digit gol di Premier League 2023/24 dan terlihat kehilangan ketajaman, semangat, dan kepercayaan diri. Isu disiplin, cedera ringan, serta kabar kehidupan pribadi juga memengaruhi persepsinya di media.
Bahkan sebagian suporter dan pundit mulai mempertanyakan apakah Rashford masih layak menjadi starter utama. Pelatih Erik ten Hag sempat mencadangkannya dalam beberapa laga besar, dan rumor transfer pun mulai muncul — sesuatu yang dulunya nyaris tak terbayangkan untuk ikon akademi seperti Rashford.
Kontribusi di Luar Lapangan: Aktivisme dan Dampak Sosial
Di luar lapangan, Marcus Rashford adalah pahlawan nasional. Ia dikenal luas karena perjuangannya melawan kemiskinan anak-anak di Inggris selama pandemi COVID-19. Ia menggagas kampanye agar pemerintah memperpanjang bantuan makanan gratis untuk anak-anak sekolah, yang mendapat pujian luas dan bahkan membuatnya menerima gelar kehormatan dari Kerajaan Inggris (MBE).
Rashford membuktikan bahwa sepak bola bukan satu-satunya jalur untuk memberi dampak besar. Ia adalah contoh atlet modern: berprestasi, vokal terhadap isu sosial, dan peduli pada komunitas.
Masa Depan: Bertahan, Bangkit, atau Mencari Tantangan Baru?
Kini di usia 27 tahun, Rashford memasuki fase paling menentukan dalam kariernya. Ia tidak lagi wonderkid, tapi pemain senior yang dituntut tampil konsisten. Kontrak jangka panjangnya di United masih berlaku, tetapi tekanan untuk kembali bersinar semakin besar, terlebih dengan kedatangan talenta baru seperti Alejandro Garnacho, Amad Diallo, dan Rasmus Højlund.
Jika mampu menemukan kembali bentuk terbaiknya, Rashford masih bisa menjadi legenda sejati klub. Namun jika tidak, banyak yang meyakini bahwa masa depannya mungkin berada di luar Old Trafford — baik di Premier League atau Eropa.
Kesimpulan:
Marcus Rashford adalah lebih dari sekadar pemain sepak bola. Ia adalah simbol kota Manchester, panutan sosial, dan contoh bagaimana popularitas bisa digunakan untuk kebaikan. Namun sebagai pesepak bola, ia kini menghadapi tantangan terbesar: membuktikan bahwa dirinya masih layak menjadi pemain elit dunia.
Apakah Rashford akan bangkit dan menulis bab baru yang lebih gemilang di United? Atau kisahnya di Teater Impian mulai mendekati akhir? Hanya waktu yang akan menjawab.