Tokyo, Jepang – Pemerintah Jepang secara resmi mengeksekusi hukuman mati terhadap Takahiro Shiraishi, pria yang dijuluki “Twitter Killer”, atas kasus pembunuhan berantai yang mengguncang negeri Sakura. Eksekusi dilakukan pada pekan terakhir Juni 2025 setelah seluruh proses hukum, termasuk upaya banding, dinyatakan tuntas.
Jejak Kejahatan Mengerikan
Shiraishi, yang kini berusia 34 tahun saat dieksekusi, ditangkap pada Oktober 2017 setelah keberadaan mayat-mayat ditemukan di apartemennya di wilayah Zama, Prefektur Kanagawa. Total, ia mengakui telah membunuh sembilan orang, mayoritas adalah perempuan muda yang ia temui melalui media sosial Twitter.
Modus operandi Shiraishi tergolong keji dan manipulatif. Ia mencari korban melalui akun Twitter dengan berpura-pura menawarkan “bantuan bunuh diri” kepada orang-orang yang mengalami depresi dan keinginan untuk mengakhiri hidup. Namun, alih-alih memberi bantuan, ia justru membunuh mereka, memutilasi jenazah, dan menyembunyikan bagian-bagian tubuh di lemari pendingin dan boks plastik.
Proses Hukum dan Eksekusi
Shiraishi mengaku bersalah tanpa penyesalan atas seluruh perbuatannya. Pada Desember 2020, Pengadilan Distrik Tokyo menjatuhkan vonis hukuman mati. Dalam sidang, hakim menyatakan bahwa kejahatan yang dilakukan “terlalu keji dan sadis untuk diberi belas kasihan.”
Setelah menjalani masa tahanan dan proses hukum selama beberapa tahun, Shiraishi akhirnya menjalani eksekusi gantung di Penjara Tokyo, metode yang masih digunakan pemerintah Jepang untuk kasus hukuman mati.
Reaksi Publik dan Keluarga Korban
Eksekusi Shiraishi memicu reaksi beragam di Jepang. Sebagian publik menilai hukuman tersebut setimpal dengan perbuatannya, sementara ada pula pihak yang kembali mempertanyakan sistem hukuman mati di Jepang.
“Kami kehilangan putri kami dengan cara yang tak manusiawi. Setidaknya kini kami bisa sedikit tenang karena pelaku telah menerima hukumannya,” ungkap salah satu keluarga korban kepada NHK.
Dampak dan Catatan Kelam
Kasus “Twitter Killer” menjadi salah satu pembunuhan berantai paling mengerikan dalam sejarah modern Jepang. Kasus ini juga memicu perdebatan besar tentang pengawasan media sosial, kesehatan mental, serta keamanan pengguna internet di Jepang.
Pemerintah pun menindaklanjuti kasus ini dengan memperketat regulasi platform digital dan memperluas layanan konseling untuk mencegah kasus serupa.
Kesimpulan:
Takahiro Shiraishi, si “Twitter Killer”, kini tinggal sejarah kelam dalam sistem hukum Jepang. Namun, jejak sadis dan manipulatifnya akan terus menjadi peringatan keras tentang bahaya penyalahgunaan media sosial dan pentingnya perlindungan bagi individu yang rentan secara mental.